let's follow me on twitter :)

Selasa, 29 November 2016

Tugas 3 Budaya Kontemporer

Arin Yuniratama
Esai Foto: Gambaran Kehidupan Perkotaan dalam Karya Populer Indonesia
Potret Jujur Kota Jakarta dalam Film “A Copy of My Mind” (2016)

Potret Jujur Kota Jakarta dalam Film “A Copy of My Mind”

Film “A Copy of My Mind” tayang perdana di bioskop pada tanggal 11 Februari 2016. Film yang disutradarai oleh Joko Anwar ini secara garis besar menceritakan tentang kehidupan sehari-hari Sari (Tara Basro), hubungan percintaannya dengan Alek (Chicco Jerikho), dan konflik keduanya yang terlibat dalam skandal politik.

Saya memilih membahas gambaran kota melalui film “A Copy of My Mind” karena selain film ini mendapatkan sederet piala penghargaan, film ini juga dengan gamblang menceritakan kehidupan di Jakarta secara jujur dan realistis.

Joko Anwar dalam film ini mengangkat kehidupan Kota Jakarta -dengan segala permasalahannya - melalui kedua tokoh utama yaitu Sari dan Alek. Sari merupakan seorang perempuan pendatang baru yang bekerja sebagai pegawai facial di salon, hobi menonton film dan membeli DVD bajakan. Sedangkan Alek adalah seorang laki-laki penerjemah subtitle untuk film bajakan yang dijualnya. Sari dan Alek menjadi cerminan rakyat pinggiran yang hidup dengan ekonomi pas-pasan dan tinggal di tengah megahnya ibu kota.


Dalam film ini tergambar dengan jelas realita kehidupan asli Jakarta yang pasti dialami juga di perkotaan lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan Jakarta sebagai kota metropolitan dan gemerlap akan kemewahan yang ditampilkan, tetapi sisi asli Jakarta yang ditinggali oleh penghuni pinggiran yang hidup berhiruk pikuk dengan ramai dan bisingnya suara kendaraan, suara adzan yang berkumandang, padatnya kos-kosan, dan berdesak-desakan dengan penghuni yang berasal dari berbagai daerah lain.

Film ini diambil dengan setting saat kampanye pemilu presiden sedang dalam masa puncaknya. Beberapa adegan menggambarkan kampanye besar-besaran yang menjadi ciri khas saat pemilu berlangsung di Indonesia terutama di Jakarta.


Sari yang hobi menonton film, selalu membeli DVD bajakan. Tetapi ia kesal jika subtitle film yang ia beli berkualitas buruk dan ‘ngaco’. Alek yang bekerja sebagai penerjemah subtitle dan penjual DVD bajakan, setiap malam memasang taruhan untuk balapan motor. Sari dan Alek sama-sama hidup dengan berekonomi rendah, sehingga rela bekerja apa saja termasuk melakukan hal ilegal seperti membajak film. Adegan-adegan tersebut sangat akrab karena sering kita temukan sehari-hari.

Masalah sosial dan isu politik yang kerap terjadi di Indonesia juga dimasukkan ke dalam film ini. Seperti pada adegan dimana Sari mencuri DVD yang ternyata merupakan barang bukti rekaman kejahatan korupsi yang dilakukan oleh pejabat. Sari dan Alek pun menjadi target pencarian dan hampir dibunuh oleh kaki tangan sang pejabat. Sari juga pernah memberi treatment di dalam penjara untuk terdakwa kasus korupsi, hal ini pasti pernah kita dengar bahwa ada banyak kamar VVIP dan perlakuan istimewa terhadap narapidana walaupun mereka mendekam di penjara.

Dari segi percintaan, hubungan romantis antara Sari dan Alek sangat ditunjukkan dalam film ini. Banyak adegan seksual yang ditampilkan menunjukkan kehidupan kaum muda yang hidup bebas di kota besar seperti Jakarta.



Dari sekian permasalahan seperti maraknya penjualan DVD bajakan, bebasnya pergaulan kaum muda, balapan liar, tindakan korupsi yang dilakukan pejabat, dan perlakuan istimewa napi di dalam penjara ditampilkan sebagai sindiran atau kritik sosial dan bukti nyata kehidupan di Jakarta. Isu sosial dan politik tersebut dikemas dalam sebuah film untuk membuka mata setiap penontonnya.

Senin, 07 November 2016

Tugas 2 Budaya Kontemporer



Arin Yuniratama
Esai Foto: Wawancara dengan Eri Rumsari (Guru Sekolah Dasar)
Kehidupan Indonesia Sebelum Tahun 1998
Title: horizontal line

Narasumber, Eri Rumsari

Kehidupan Indonesia sebelum tahun 1998 (Orde Baru)


Hari Sabtu (5/11/2016) lalu, saya melakukan wawancara singkat dengan Eri Rumsari, seorang guru sekolah dasar, Ia lahir di Kuningan, 12 Desember 1961, lulus dari SPG (Sekolah Pendidikan Guru) pada tahun 1980 dan mulai mengajar di sekolah dasar pada tahun 1981 di Kuningan, Jawa Barat. Saat ini ia masih aktif mengajar di SDN Bojong Rawalumbu XI Bekasi sejak tahun 1994.





Ada di mana tepatnya Ibu saat sebelum tahun 1998?

Sebelum tahun 1998 saya masih tinggal di Kuningan, Jawa Barat. Tetapi tahun 1994 saya dan suami pindah ke Bekasi.



Bagaimana kehidupan sebelum tahun 1998 (Orde Baru)?

Dari segi keamanan, lebih aman jaman orde baru, jika pulang larut malam menggunakan kendaraan umum tidak akan khawatir, tindak kriminal seperti copet tidak banyak seperti sekarang, semuanya aman.

Tetapi HAM Indonesia pada jaman Orde Baru bisa dikatakan kurang (baik), banyak preman yang dibunuh dan mayatnya dibuang begitu saja di sungai. Dan juga kebebasan rakyat untuk berpendapat sangat dibatasi, jadi kita hanya bisa tunduk terhadap pemerintah.



Bagaimana pengalaman ibu bersekolah saat masih di jaman Orde Baru?

Hmm.. dulu ya sekolah itu belum terlalu dianggap penting, yang penting lulus SD saja sudah cukup. Dulu waktu saya SD, dari satu kelas yang melanjutkan ke SMP hanya sekitar 5 orang. Ada juga yang langsung dinikahkan. Jadi dulu banyak perempuan yang menikah dini.



Karena Ibu seorang guru, apa pendapat ibu dari segi pendidikan? Apakah ada perbedaan yang sangat mencolok antara dulu dan sekarang?

Oh, tentu sangat berbeda. Saat saya mengajar tahun 1980-an jumlah sekolah sangat terbatas, misalnya hanya ada satu SMP di tiap kecamatan dan satu SMA di kabupaten, jadi siswa banyak yang tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, itu juga karena alasan ekonomi. Contohnya tadi, dari tingkat SD yang melanjutkan ke SMP hanya beberapa orang, bisa dihitung dengan jari.

Sekarang dengan adanya program pemerintah seperti wajib belajar 9 tahun, sekolah juga sudah ditunjang dengan fasilitas seperti gedung, alat peraga, hingga biaya pendidikan semua ditanggung pemerintah. Jadi sekarang pendidikan sudah begitu diperhatikan, lah. Sekarang saja setidaknya di tiap kecamatan sudah memiliki satu SMA.

Perguruan tinggi dulu juga dianggap ekslusif, jadi anak yang bisa berkuliah dan lulus sarjana itu sebuah kebanggaan.



Kalau bisa memilih, lebih enak saat orde baru atau sekarang?

(Sambil tersenyum.) Wah, kalau itu masing-masing ada positif dan negatifnya, ya. Kalau dari segi keamanan, lebih enak jaman dulu (orde baru). Kalau dari segi ekonomi, sih, lebih enak sekarang.

Dari segi teknologi juga apalagi, seperti komunikasi dan informasi jauh lebih baik sekarang, dengan adanya teknologi yang semakin maju, kan, berdampak baik juga terhadap kemajuan pendidikan. Ya, mungkin lebih enak sekarang, ya, apa-apa gampang, dan sudah menjadi mudah semuanya.





Kesimpulan saya, banyak sekali perbedaan antara jaman Orde Baru dan sekarang. Seperti yang sangat mecolok adalah dari segi keamanan, pada jaman dulu semuanya aman, pulang larut malam menggunakan kendaraan umum tidak perlu khawatir. Sedangkan sekarang tindak kejahatan sudah banyak menyebar dan bukan hal yang aneh lagi, selain rawan copet dan begal, tetapi juga rawan kekerasan seksual.

Dari segi ekonomi sebetulnya relatif, jaman dulu semua harga murah tetapi kemampuan finansial dan daya beli masyarakat juga kurang. Saat beliau kecil dulu, makan ayam saja mungkin hanya saat lebaran dan itu juga dialami oleh teman-temannya. Sekarang harga barang memang bisa dibilang mahal, tetapi daya beli masyarakat juga semakin meningkat.

Ekonomi juga akan berdampak ke masalah pendidikan, seperti yang sudah disampaikan, saat beliau SD, dari satu kelas yang melanjutkan ke tingkat SMP hanya sekitar 5 orang, dan anak perempuan saat itu langsung dinikahkan. Alasannya selain jumlah sekolah yang terbatas juga karena faktor ekonomi keluarga yang kurang cukup, sedangkan saat jaman dulu satu keluarga pasti memiliki banyak anak. Dulu anak yang bisa melanjutkan ke perguruan tinggi hanya anak tertentu dari keluarga yang juga mampu, selain karena ekonomi yang berkecukupan juga keterbatasan perguruan tinggi yang berlokasi hanya di beberapa kota besar. Sehingga ketika anak itu lulus dan mendapat gelar sarjana, akan menjadi sebuah kebanggaan dan gelarnya dianggap mewah. Sedangkan saat ini, begitu banyak sarjana yang bahkan tidak bekerja alias pengangguran.

Saat ini, HAM begitu dijunjung dan masyarakat diberikan wewenang untuk mengkritik pemerintah jika kinerjanya dinilai salah dan kurang baik. Tetapi saat Orde baru, HAM seolah dikuasai oleh pemerintah, masyarakat dibatasi untuk berpendapat dan tidak berani mengkritik pemerintah, sehingga rakyat hanya bisa patuh dan tunduk terhadap semua aturan dan kebijakan yang mungkin hanya menguntungkan pemerintah. Keadaan yang berlangsung sangat lama inilah yang memicu kericuhan Mei 1998, kerusuhan yang membuat Presiden Soeharto turun dari kursi jabatan yang sudah menemaninya selama 32 tahun.