let's follow me on twitter :)

Selasa, 18 Oktober 2016

Tugas 1 Budaya Kontemporer

Arin Yuniratama
Esai Foto: Yang Muda Yang Bercinta - Sjuman Djaja (1977)
Kuasa Sensor akan Kritik Sosial dan Budaya


Kuasa Sensor akan Kritik Sosial dan Budaya

“The Film Law no. 8/1992 states that cinema is a medium of mass communication that plays an mportant role in developing the national culture and improving security to support national development.” – Intan Paramaditha on Cinema, Sexuality, and Censorship in Post-Soeharto Indonesia.

Sensor adalah sebuah regulasi untuk memfilter; menutupi apa yang tidak ingin ditampilkan dan menampilkan apa yang ingin ditonjolkan. Sensor film di Indonesia dilandasi oleh UU No. 8 tentang Perfilman/1992 bahwa film harus “mengembangkan budaya nasional” dan “meningkatkan keamanan untuk mendukung perkembangan nasional.”

Film berjudul “Yang Muda Yang Bercinta” (1977) yang diperankan oleh WS Rendra dan Yati Octavia tidak dapat ditayangkan di bioskop walaupun telah lulus sensor pada tahun 1978 dengan pemotongan selama 18 menit. Film tersebut baru dapat disaksikan pada tahun 1993.

Film yang disutradarai oleh Sjuman Djaja berkisah tentang kehidupan seorang mahasiswa bernama Sony (WS Rendra) yang hidup sederhana namun peduli terhadap permasalahan sosial dan impian akan masa depan. Di tengah kehidupan keluarganya yang pas-pasan, ia sangat disayang dan dimanjakan oleh pamannya yang kaya.

Permasalahan muncul saat pacar Sony, Titiek (Yati Octavia), hamil di luar nikah dan Sony baru menyadari bahwa paman yang sangat ia banggakan ternyata seorang germo kelas kakap. Konflik moral yang dialami Sony mengharuskan ia bersikap sebagaimana seorang  laki-laki yang bertanggung jawab.

Dalam film ini, terlihat jelas banyak bentuk kritik sosial. Banyaknya adegan dimana Sony dengan bersemangat membacakan puisi bertemakan masalah sosial, ekonomi, dan juga pendidikan. Ia selalu bermimpi ingin merubah Indonesia supaya bangun dari ‘kemacetan’. Serta pertanyaan mengapa orang yang jujur hidup pas-pasan dan tidak bisa merubah keadaan, sedangkan orang yang sukses berdagang kekuasaan dan bekerja dengan tidak halal dapat hidup kaya raya.

Dari segi moral, sensor film sangat sensitif terhadap sesuatu yang berbau seks karena dianggap tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang ketimuran. Dalam film ini, ada setidaknya tiga kali adegan berciuman dan bercinta Sony yang ditampilkan. Selain seks, kekerasan juga menjadi alasan utama adanya sensor. Adegan dimana Sony bertengkar dengan ayahnya mungkin salah satu contoh moral yang bertentangan bahwa anak seharusnya tidak membangkang dan menghormati orangtuanya.

Sedangkan dari segi budaya, terdapat satu adegan yang menggambarkan adegan dimana Sony sedang makan bersama Ibunya Titiek. Ibunya Titiek bertanya apa rencana setelah Sony lulus. Karena Sony adalah laki-laki, ia harus berperan penting dan memiliki rencana, tidak seperti anaknya, Titiek, yang hanya seorang perempuan.
“Buat Titiek sesungguhnya tidak seberapa penting mau apa, maklum cuma anak perempuan.Biar pintar seperti apa, nantinya kan suaminya yang menentukan...,” Ibunya titiek.

Adegan ini menggambarkan bagaimana saat itu perempuan tidak bisa berposisi lebih tinggi dari pada laki-laki, seorang istri harus tunduk kepada suami dan hanya diperbolehkan mengikuti beberapa kegiatan, seperti Dharma Wanita dan PKK. Anggapan bahwa perempun hanya akan menjadi ibu rumah tangga dan lebih baik tinggal di rumah bahkan masih menempel hingga sekarang.

Banyaknya adegan yang menampilkan budaya yang kebarat-baratan, seperti party, mengenakan bikini di tepi pantai, hingga minum minuman berakohol. Serta adegan dimana Sony melihat pamannya yang kerap “menyediakan” perempuan untuk orang-orang penting atau pejabat tinggi, beberapa adegan tersebut mungkin sengaja dibuat sebagai sentilan pedas yang menggambarkan kenakalan-kenakalan pejabat tinggi yang tidak diketahui banyak orang awam, serta kenyataan pergaulan bebas, seks bebas, dan bisnis prostitusi yang hingga saat ini masih banyak terjadi.

Sensor adalah suatu bentuk kuasa, dan dalam film ini saya dapat menyimpulkan bahwa pemerintah, yang pada saat itu Orde Baru, berperan penting sebagai penguasa yang berkuasa untuk menjaga moral dan budaya Indonesia supaya tidak rusak dengan pengaruh-pengaruh negatif dari sebuah film. Karena film dinilai sebagai sebuah media komunikasi massa terbaik. Namun pada sisi lain, kuasa sensor akan menyebabkan amanat dan pesan moral dari sebuah film, serta pandangan-pandangan kritis kaum muda menjadi terbatas untuk diekspresikan dan terbungkam.